Pendidikan Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education)

Pendidikan Matematika Realistik (RME) tidak dapat dipisahkan dengan Freudenthal Institute. Lembaga ini didirikan pada tahun 1971 di bawah Universitas Utrecht, Belanda. Nama lembaga ini berasal dari nama Profesor Hans Freudenthal (1905 -1990), seorang penulis, pendidik dan matematikawan. Sejak tahun 1971, Freudenthal Institute telah mengembangkan pendekatan teoritis terhadap belajar mengajar matematika yang disebut RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan ide-ide tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berasumsi bahwa siswa tidak boleh dianggap sebagai penerima pasif siap pakai matematika. Menurut Freudenthal pendidikan dapat disusun sedemikian rupa sehingga mendukung siswa untuk menggunakan setiap situasi dan kesempatan melakukan penemuan kembali terhadap matematika secara mandiri. Banyak masalah dapat dikembangkan dari berbagai konteks yang dianggap bermakna sebagai sumber belajar. Konsep-konsep matematika yang dikembangkan dari proses matematisasi yang dimulai dari hubungan konteks memungkinkan siswa untuk mencari solusi secara bertahap dalam mengembangkan perangkat untuk memahami matematika pada tingkat formal. Model yang muncul dalam kegiatan matematika memungkinkan interaktivitas yang cepat bagi siswa yang mengarah ke tingkat berpikir matematika yang lebih tinggi. 

Menurut Freudenthal matematika harus dilihat sebagai aktivitas manusia dan terkait dengan realitas. Dalam konsep RME siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali matematika di bawah bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Penciptaan kembali ide matematika dan konsep tersebut akan dimulai dari eksplorasi berbagai masalah dan situasi 'dunia nyata' (de Lange, 1995). Selain itu, dalam RME proses belajar memainkan peran penting. Alur belajar sebagai hasil proses berpikir siswa harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Dalam proses ini guru harus mengembangkan proses belajar mengajar yang interaktif, yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif terlibat dalam proses belajar mereka sendiri. Dalam RME, dunia nyata digunakan sebagai titik awal dalam mengembangkan ide-ide dan konsep matematika. Dunia nyata adalah dunia luar matematika, seperti materi pelajaran lain di luar matematika, atau kehidupan sehari-hari kita dan lingkungan (Blum & Niss, 1989). De Lange (1996) mendefinisikan dunia nyata sebagai hal konkret yang ditransfer ke siswa melalui aplikasi matematika. Itulah cara kita melihat proses belajar matematika pada siswa, yang terjadi dalam situasi nyata.
Proses pengembangan ide-ide matematika dan konsep yang mulai dari dunia nyata disebut matematisasi konseptual (de Lange, 1996). Sebuah model skema untuk proses belajar ini digambarkan sebagai siklus, di mana proses lebih penting dari produk (Gambar 1). Kami berasumsi bahwa pengetahuan adalah proses transformasi yang terus menerus diciptakan, bukan entitas bebas untuk dikuasai atau dikomunikasikan. Dunia nyata selalu mengalami penyesuaian (de Lange, 1996). Matematisasi Horisontal dan Vertikal Treffers (1987, 1991) membedakan dua jenis matematisasi, yaitu vertikal dan horisontal, yang digambarkan oleh Gravemeijer (1994) sebagai proses penemuan kembali (Gambar 2).
Dalam matematisasi horisontal, siswa mulai dari masalah kontekstual. Mereka mencoba untuk menggambarkan masalah menggunakan bahasa dan simbol-simbol mereka sendiri, kemudian memecahkan masalah tersebut. Dalam proses ini setiap siswa bisa menggunakan strateginya sendiri yang mungkin berbeda dari yang lain. Dalam matematisasi vertikal kita dapat mulai dari masalah kontekstual, tetapi dalam jangka panjang siswa mengembangkan prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah serupa tanpa menggunakan konteks. Gravemeijer (1994) menjelaskan matematisasi vertikal sebagai matematisasi dari masalah matematika untuk membedakan dengan matematisasi horisontal yang merupakan matematisasi dari masalah kontekstual.

Karakteristik RME
  1. Penggunaan masalah kontekstual (masalah kontekstual sebagai aplikasi dan sebagai titik awal dalam pembelajaran matematika). 
  2. Penggunaan model atau menjembatani dengan instrumen vertikal (perhatian lebih diberikan untuk model-model, skema dan simbolisasi daripada aturan atau matematika formal yang langsung). 
  3. Penggunaan kontribusi siswa (kontribusi berasal dari konstruksi siswa sendiri, yang mengarahkan mereka dari metode informal mereka ke metode formal standar). 
  4. Interaktivitas (negosiasi eksplisit, intervensi, diskusi, kerja sama dan evaluasi antara murid dan guru merupakan elemen penting dalam membangun proses belajar di mana strategi informal siswa digunakan sebagai tuas untuk mencapai strategi yang formal). 
  5. Terjalinnya untaian pembelajaran (pendekatan holistik menyiratkan bahwa untaian pembelajaran tidak dapat dipandang sebagai entitas yang terpisah; melainkan dapat dimanfaatkan dalam pemecahan masalah).

No comments:

Post a Comment