Bel tanda pelajaran
usai telah berbunyi. Siswa kelas IV SD Harapan bersorak riang keluar kelas.
Mereka mengambil sepeda di tempat parkir sambil membicarakan rencana belajar
kelompok sepulang sekolah.
Masih tertinggal dalam
kelas seorang anak laki-laki bernama Iwan. Iwan tampak gelisah karena semua
temannya sudah pulang. Ia mendapat hukuman dari Ibu Wijaya karena tidak
mengerjakan PR matematika yang harus dikumpulkan tadi. Ibu Wijaya memberikan 10
soal perkalian yang harus diselesaikan dalam waktu 15 menit.
Setelah selesai
mengerjakan soal,Iwan diperbolehkan untuk pulang. Dengan perasaan kesal ia
menuju ke tempat parkir mengambil sepedanya. Jalan setapak desa Harapan sudah
sepi. Iwan mengayuh sepeda lebih cepat agar lekas sampai di rumah.
Ketika lewat di depan rumah Ferdi, Iwan
terus mengayuh sepedanya. Ferdi memanggilnya dan mengingatkan,”Iwan,aku tunggu
di rumah Defi ya,untuk belajar kelompok. Datanglah jam 2 siang ini!”. Iwan
menjawab sambil berlalu,”Ya Fer,tunggu saja,nanti aku datang”.
Dalam hati Iwan merasa
berat hati untuk ikut belajar kelompok. Ia ingin bermain karena merasa jenuh
dengan tugas-tugas sekolah. Apalagi ia mendapat hukuman di sekolah tadi. Di
jembatan desa ada beberapa anak kelas III SMP yang sedang duduk-duduk. Mereka
adalah Dio,Noval,Diki,Bima,dan Aldo. Mereka terkenal nakal di sekolah dan di
rumah. Mereka sering membolos,tidak mengerjakan PR,menjahili teman,
kebut-kebutan di jalan raya,dan tidak sopan kepada orang tua.
Dio,pemimpin geng anak-anak nakal itu
memanggil Iwan yang lewat di depan mereka. “Iwan,kamu kok kelihatan suntuk
begitu. Nanti gabung sama kami yuk,main di hutan pinggir desa. Kami punya acara
yang asyik lho. Datang ya!”. Iwan berpikir sejenak, dalam benaknya memang ia
ingin bermain siang ini. Iwan lupa dengan janjinya kepada Ferdi untuk belajar
kelompok.
Sampai
di rumah,Iwan telah ditunggu oleh ibunya untuk makan siang. Setelah berganti
pakaian dan sholat dzuhur,ia menuju ruang makan. Iwan makan dengan sedikit
tergesa-gesa. Pikirannya tertuju kepada Dio dan kawan-kawannya yang menunggu di
hutan tepi desa. Ibu memperhatikan Iwan dan bertanya,”Nak,kenapa kamu makan
tergesa-gesa seperti itu? Pelan-pelan,nanti tersedak”. Sambil mengunyah makanan
Iwan menjawab,”Aku mau main Bu,aku jenuh ingin menyegarkan pikiran”. Ibu
mengingatkan,”Boleh saja bermain Wan,tetapi kamu harus pandai memilih teman.
Jangan bermain dengan anak-anak nakal yang akan mengajakmu kepada hal-hal yang
tidak baik. Jangan lupa mengerjakan PR dan belajar karena tiga hari lagi Ulangan Akhir semester 1”. “Tenang saja
Bu,aku pandai memilih teman,dan aku akan kerjakan PR nanti sore. Aku pergi
sekarang ya Bu”,sambil bergegas keluar rumah Iwan melambaikan tangan kepada
ibunya.
Dengan
semangat Iwan mengayuh sepedanya menuju hutan di tepi desa. Sesampainya di
hutan,Iwan melihat motor geng anak-anak itu. Namun tak seorangpun dari mereka
menampakkan diri. “Pluk”,kepala Iwan kejatuhan biji jambu monyet. Iwan
menengadahkan kepala dan melihat noval di atas pohon menertawakannya. “Hei,
kemarilah kawan kita berpesta jambu monyet”. Iwan pun menyusul naik ke atas
pohon menyusul mereka. Mereka tertawa kegirangan sembari menikmati jambu monyet
dan bergelantungan di dahan-dahan jambu monyet yang buahnya ranum itu.
Satu jam lebih mereka
bercanda di atas pohon jambu monyet. Setelah merasa jenuh,anak-anak itu turun.
Bima yang terkenal banyak akalnya tiba-tiba berkata,” kawan-kawan,mau kan aku
beritahu cara membuat tato?”. Diki menanggapi,”Tato? Itu pasti keren sekali.
Aku ingin membuat tato ikan di lenganku ini”. Aldo tampak antusias dan tidak
sabar,”Ayo,beritahu kami caranya!”.
“Hem,baiklah. Perhatikan aku ya!”. Bima
mengambil daun dari ranting jambu monyet. Pangkal daun yang meneteskan getah
itu ia torehkan ke lengan kirinya. Bima menggambar bintang dengan getah itu.
Satu,dua,tiga helai daun cukup menyelesaikan gambar bintang. “Nah,begini
caranya. Kita tinggal menunggu getah ini kering. Nanti akan jadi tato yang
keren”,kata Bima. Keempat teman Bima pun
langsung mencoba membuat tato dari getah jambu monyet. Bima membuat gambar
pedang di lengannya, Diki menggambar naga di pahanya, Aldo dan Noval menggambar
ikan di lengan kanan mereka. Iwan merasa penasaran dengan cara mereka membuat
tato. Bima menarik lengan Iwan dan mengatakan,” Sini,aku buatkan kau tato Ikan
yang besar di tangan kirimu. Dari siku ke bawah,pasti keren sekali!”. Iwan
tidak menolak dan menuruti ajakan Bima.
Usai
menggambar tato,kelima anak itu berbaring di rerumputan sambil mengeringkan
getah jambu monyet yang masih melekat. “Nah,sekarang getahnya sudah kering.
Mari pulang kawan-kawan,dijamin besok pagi tato kalian sudah jadi”,kata Bima.
“Oke. Besok di sekolah pasti teman-teman
lain penasaran dengan tato kita dan mereka akan meniru. Ha ha ha...”, Dio
tertawa senang.
Geng anak-anak SMP itu segera tancap gas
motor mereka. Mereka tidak menghiraukan Iwan yang naik sepeda sendiri.
Iwan
pulang dengan perasaan senang karena ia merasa mendapat pengalaman baru yang
menyenangkan. Kini ia bisa membuat tato dengan mudah. Besok ia akan bercerita
kepada teman-temannya tentang pengalaman tersebut.
Ibu
sudah berdiri di depan rumah menanti Iwan.” Kenapa sampai sore sekali Nak kamu
baru pulang? Lihat,sekarang sudah jam 5 dan kamu belum mandi!”. Ibu memarahi
Iwan. “Maaf Bu, bermain sore ini sangat seru. Baiklah aku akan mandi”, kata
Iwan menjawab ibunya.
Menjelang
tidur malam, Iwan merasakan perih dan gatal pada tangan kiri yang digambar tato
ikan oleh Bima tadi. Iwan hanya diam saja,ia tidak berani mengadu kepada
ibunya.
Keesokan harinya,tato bergambar ikan itu
memang jadi. Warnanya coklat kemerahan tetapi perih dan gatal masih terasa.
Gambar Tato itu menyerupai koreng.
Di
sekolah Iwan ingin bercerita kepada teman-teman,tetapi ia mengurungkannya
karena kini perih dan gatal pada tangan kiri Iwan semakin terasa. Iwan ingin
menggaruk tato itu,tetapi ia takut tato itu rusak.
Hari berikutnya, tato ikan itu
menggelembung. Kulit Iwan seperti terisi air. Karena tidak tahan dengan rasa
perih dan gatal,Iwan tak sadar menggaruk-garuk
tato itu. Jadilah luka akibat tato itu semakin parah dan timbul nanah.
Di
rumah,Iwan berusaha menyembunyikan tangannya dari penglihatan ibu.
Hingga hari ke tiga setelah tato
dibuat,saat Iwan hendak mandi ibu mengetahui secara langsung luka koreng di
tangan putra kesayangannya itu. Ibu terkejut,lalu bertanya secara detail
mengapa tangan Iwan bisa begitu. Iwan menjelaskan sambil menangis dan merintih
kesakitan. Iwan menyesal telah menuruti ajakan geng anak-anak nakal dan mau
ditato.
Setelah
mandi,ibu segera membawa Iwan ke klinik dokter Danang yang tidak jauh dari rumah. Sesampai di klinik,Iwan
menjalani pemeriksaan didampingi ibunya. Dokter Danang bertanya,” Mengapa bisa
seperti ini Bu,luka putra Anda?”. Ibu menjelaskan peristiwa yang dialami
anaknya. Dokter Danang kemudian memberikan obat dan menjelaskan aturan pakainya.
Beliau juga menasehati Iwan untuk tidak bermain dengan benda-benda
berbahaya yang dapat melukai diri
sendiri.
Malam
hari setelah makan malam,ibu menyiapkan obat untuk diminum Iwan. Selain obat
yang diminum,ada pula salep untuk dioleskan ke luka. Ibu menasihati Iwan, “Kamu
harus berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan ini Nak. Ibu sudah berpesan
kepadamu untuk berhati-hati dalam memilih teman. Jangan merusak dirimu. Ayah
sedang bertugas di luar kota. Ayah pasti marah jika tahu perbuatanmu.
Karena ayah tidak di rumah,kamu harus
patuh kepada ibu. Apalagi kamu bercita-cita untuk menjadi polisi seperti
pamanmu kan? Seorang polisi itu tidak boleh bertato Nak. Tidak ada sekolah yang
mau menerima anak bertato”.
Iwan menangis dan memeluk ibunya,”Iwan
minta maaf Bu,Iwan akan menuruti nasihat Ibu. Iwan berjanji akan hati-hati
dalam berteman dan belajar dengan sungguh-sungguh”.
Sejak
saat itu,Iwan bertekad untuk selalu patuh kepada nasihat ibu. Iwan belajar
dengan sungguh-sungguh. Ia selalu siap jika diajak belajar kelompok.Untuk
menghindari ajakan dari geng anak-anak nakal,sekarang Iwan lebih memilih untuk
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler tari di sekolahnya. Meskipun laki-laki,Iwan
pandai menari. Iwan giat berlatih bersama teman-teman yang lain. Pelatihnya
adalah Ibu Wijaya. Iwan memperhatikan dengan cermat setiap gerakan yang
diajarkan gurunya.
Saat lomba dalam rangka
pekan seni se-Kecamatan Kenari,Iwan dan Bani terpilih untuk mewakili SD
Harapan. Mereka mengikuti lomba tari Bandayudha.
Pada hari yang telah ditentukan, Iwan
dan Bani menari dengan gagah dan lincah di atas panggung. Seluruh penonton
kagum dengan penampilan Iwan dan Bani, permainan tameng dan stik mereka pas
dengan irama dan seperti perang sungguhan.
Di akhir acara,panitia lomba mengumumkan
kejuaraan. Iwan dan Bani berhasil memperoleh juara I. Mereka pulang ke sekolah
dengan bangga,mempersembahkan prestasi dan membawa nama harum sekolah.
No comments:
Post a Comment